1.1 RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud karakteristik secara luas ?
2.
Bagaimana
konsep karakteristik umum siswa SMP ?
3.
Bagaimana
konsep karakteristik umum siswa SMA ?
4.
Apa
saja kendala-kendala yang dialami anak usia sekolah menengah di sekolah ?
5.
Bagaimana
implikasi bagi guru agar bisa menerapkan teori dengan baik ?
1.2
TUJUAN
DAN MANFAAT
1.
Untuk
mengetahui pengertian karakteristik secara luas.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana konsep karakteristik umum siswa SMP.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana konsep karakteristik umum siswa SMA.
4.
Untuk mengetahui apa saja kendala-kendala yang dialami anak usia sekolah menengah.
5.Untuk
mengetahui bagaimana implikasi guru agar bisa menerapkan teori di sekolah
dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum istilah “karakter” yang sering
disamakan dengan istilah “temperamen” ,”tabiat”, “watak” atau “akhlak” yang
memberinya sebuah definisi sesuatu yang menekankan unsur psikososial yang
dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Secara harfiah menurut
beberapa bahasa, karakter memiliki berbagai arti seperti : “kharacter” (latin)
berarti instrument of marking, “charessein” (Prancis) berarti to engrove
(mengukir), “watek” (Jawa) berarti ciri wanci; “watak” (Indonesia) berarti
sifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, dan
peringai. Dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang
dimiliki sejak lahir, Sehingga Doni Kusuma (2007:80) istilah karakter dianggap
sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.
2.1.1 Konsep Karakteristik siswa SMP dan SMA
Ketika anak – anak memasuki masa remaja
konsep diri mereka mengalami perkembangan yang sangat kompleks dan melibatkan
sejumlah aspek dalam diri mereka. Santrock (1998) menyebutkan sejumlah
karakterisktik penting perkembangan konsep diri pada masa remaja yaitu :
a.
Abstrak and idealistc
Pada masa remaja anak – anak lebih mungkin membuat gambaran tentang diri
mereka dengan kata – kata yang abstrak dan idealistik. Gambaran tentang konsep
diri yang abstrak misalnya dapat dilihat dari pernyataan remaja usia 14 tahun
mengenai dirinya. “Saya seorang manusia. Saya tidak dapat memutuskan sesuatu saya tidak tahu
siapa diri saya.” Sedangkan deskripsi idealistik dari konsep diri remaja dapat
dilihat dari pernyataan. “Saya orang yang sensitive, yang sangat peduli terhadap perasaan orang lain.
Saya rasa, saya cukup cantik.” Meskipun tidak semua remaja menggambarkan diri
mereka dengan cara yang idealis, namun sebagian besar remaja membedakan antara
diri mereka yang sebenarnya dengan diri yang diidamkannya.
b.
Differentiated
Konsep diri remaja bisa menjadi semakin terdiferensiasi. Dibandingkan
dengan anak yang lebih muda remaja lebih mungkin untuk menggambarkan dirinya
sesuai dengan konteks atau situasi yang semakin terdiferensiasi. Misalnya
remaja berusaha menggambarkan dirinya menggunakan sejumlah karakteristik dalam
hubungannya dengan keluarganya, atau dalam hubungannya dengan teman sebaya, dan
bahkan dalam hubungan yang romantis dengan lawan jenisnya. Singkatnya,
dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih mungkin memahami bahwa dirinya
memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda, sesuai dengan peran atau konteks
tertentu.
c.
Contracdictions within the self
Setelah remaja mendeferensiasikan dirinya kedalam sejumlah peran dan dalam
konteks yang berbeda beda, maka munculah kontradiksi antara diri-diri yang
terdiferensiasi ini.
Dalam sebuah penelitian Susan Harter(1986)
meminta siswa kelas 7 sembilan dan sebelas untuk mendeskripsikan diri mereka.
Harter akhirnya menemukan bahwa terdapat sejumlah istilah yang kontradiktif
yang digunakan remaja dalam mendeskripsikan dirinya(seperti jelek dan menarik,
mudah busan dan ingin tahu, peduli dan tak peduli, tertutup dan suka
bersenang-senang) meningkat secara dramatis antar kelas tujuh dan kelas
sembilan. Gambaran diri yang kontradiktif ini berkurang jumlahnya pada siswa
kelas 11, namun masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan siswa kelas 7.
d.
The fluciating self.
Sifat yang kontradiktif dalam diri remaja pada gilirannya memunculkan
fluktuasi diri dalam berbagai situasi dan lintas waktu yang tidak mengejutkan.
Seorang peneliti menjelaskan sifat fluktuasi dari diri remaja tersebut dengan
metafora. Diri remaja akan terus memiliki ciri ketidakstabilan hingga masa
dimana remaja berhasil membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh, dan
biasanya tidak terjadi hingga masa remaja akhir, bahkan hingga masa dewasa
awal.
e.
Real and ideal true dan false selves
Munculnya kemampuan remaja untuk mengkontruksikan diri ideal mereka
disamping diri yang sebenarnya, merupakan sesuatu yang membingungkan bagi
remaja tersebut. Kemampuan untuk menyadari adanya perbedaan anatra diri
yng nyata dengan diri yang ideal menunjukan adanya peningkatan kemampuan
kognigtif mereka. Tetapi, carl rogers yakin bahwa adanya perbedaan yang terlalu
jauh antara diri yang nyata dengan diri ideal menunjukan ketidak mampuan
remaja untuk menyesuaikan diri. Penelitian yang dilakukan strachen dan jones
(1982) menunjukan bahwa pada pertenrgahan masa remaja terjadi dikrepansi yang
lebih besar antara diri yang nyata dengan diri ideal dibandingkan dengan pada
awal dan akhir masa remaja.
Remaja cenderung menunjukkan diri yang
palsu ketika berada di lingkungan teman-teman dikelasnya. Namun ketika berada
bersama teman dekatnya remaja menunjukkan yang asli. Diri yang palsu
ditunjukkan oleh remaja untuk orang lain mengaguminya, untuk mencoba perilaku
atau peran baru yang disebabkan adanya pemaksaan dari orang lain untuk
berprilaku palsu, karena orang lain tersebut tidak memahami diri remaja yang
sebenarnya.
f.
Social comparison.
Sejumlah ahli perkembangan percaya
bahwa, dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih sering menggunakan
perbandingan sosial untuk mengevaluasi diri mereka sendiri. Namun kesediaan
remaja untuk mengakui bahwa mereka menggunakan perbandingan social untuk
mengevaluasi diri mereka sendiri cenderung menurun pada masa remaja, karena
menurut mereka perbandingan sosial itu tidaklah diinginkan. Menurut remaja,
terungkapnya motif perbandingan sosial mereka akan membahayakan popularitas
mereka.
g.
Self-consciou
Karakter lain dari konsep diri remaja adalah bahwa remaja lebih sadar akan
dirinya dibandingkan dengan anak-anak dan lebih memikirkan tentang pemahaman
diri mereka. Remaja menjadi lebih introspektif, yang mana hal ini merupakan
bagian dari kesadaran diri mereka dan bagian dari eksplorasi diri. Namun
introspeksi tidak selalu terjadi ketika remaja berada dalam keadaan
isolasi sosial. Remaja kadang-kadang meminta dukungan dan penjelasan dari teman
temannya memperoleh opini teman-temannya mengenai definisi diri yang baru
muncul.
h.
Self-protective
Mekanisme untuk mempertahankan diri merupakan salah satu aspek dari konsep
diri remaja dalam upaya elindungi dirinya, remaja cenderung menolak adanya
karakteristik negatif dalam diri mereka. Gambaran diri yang positif seperti
menarik, suka bersenang senang dan ingin tahu, lebih sering disebutkan sebagai
bagian inti dari diri remaja yang penting. Sedangkan gambaran diri yang negatif
seperti jelek, egois dan gugup lebih disebutkan sebagai bagian pinggir.
·
Unconscious. Konsep diri remaja melibatkan adanya
pengenalan bahwa komponen yang tidak disadari termasuk dalam dirinya, sama
seperti komponen yang disadari. Pengenalan seperti ini tidak muncul masa remaja
akhir. Artinya, remaja yang lebih tua lebih yakin akan adanya aspek-aspek
tertentu dari pengalaman mental diri mereka yang berada diluar kesadaran atau kontrol
mereka dibandingkan dengan remaja yang lebih mudah.
·
Self-integraion.Terutama pada masa remaja akhir, konsep
diri menjadi lebih terintegrasi, dimana bagian yang berbeda beda dari diri
secara sistematik menjadi satu kesatuan. Remaja yang lebih tua, lebih mampu
mendeteksi adanya ketidakkonsistenan dalam gambaran diri mereka pada masa
sebelumnya ketika ia berusaha untuk mengkontruksikan teori meneganai diri
secara umum, atau suatu pemikiran yang terintegrasi dari identitas. Ketika
remaja menghadapi tekanan untuk membagi bagi diri menjadi sejumlah peran,
munculah pemikiran formal operasional yang mendorong proses integrasi dan
perkembangan dari suatu teori diri yang konsisten dan koheren.
2.2 PENERAPAN
DAN KENDALA-KENDALA ANAK USIA SEKOLAH MENENGAH DI SEKOLAH
PERKEMBANGAN
PESERTA DIDIK PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
1.
Perkembangan dalam Sikap Kognitif
Untuk
membahas perkembangan kognitif (berpikir) pada anak saat berada di sekolah menengah pertama (SMP), dikemukakan
pandangan dari Piaget, Vigotksy, dan para ahli psikologi pemrosesan informasi
(information-processing theory).
Arajoo
T.V (1986) menyatakan bahwa aspek kognitif meliputi fungsi intelektual seperti
pemahaman, pengetahuan dan ketrampilan berpikir. Untuk siswa SMP, perkembangan
kognitif utama yang dialami adalah formal operasional, yang mampu berpikir
abstrak dengan menggunakan simbol-simbol tertentu atau mengoperasikan
kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang
bersifat konkrit, seperti peningkatan kemampuan analisis, kemampuan
mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang
ada, kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dari berbagai kategori
objek yang beragam. Selain itu, ada peningkatan fungsi intelektual, kapabilitas
memori dalam bahasa dan perkembangan konseptual. Dengan kata lain, bahasa
merupakan salah satu alat vital untuk kegiatan kognitif.
Menurut
Jean Piaget, perkembangan kognitif anak pada saat berada di Sekolah Menengah
Pertama(SMP), berada pada tahap “Formal operation stage”, yaitu tahap ke empat
atau terakhir dari tahapan kognitif. Tahapan berpikir formal ini terdiri atas
dua subperiode (Broughton dalam John W.Santrock, 2010:97), yaitu:
a.
Early formal operation thought, yaitu
kemampuan remaja untuk berpikir dengan cara-cara hipotetik yang menghasilkan
pikiran-pikiran sukarela (bebas) tentang berbagai kemungkinan yang tidak
terbatas. Dalam periode awal ini, remaja mempersepsi dunia sangat
bersifat subjektif dan idealistik.
b.
Late formal operational thought, yaitu
remaja mulai menguji pikirannya berlawanan dengan pengalamannya, dan
mengembalikan keseimbangan intelektualnya. Melalui akomodasi (penyesuaian
terhadap informasi/hal baru), remaja mulai dapat menyesuaikan terhadap bencana
atau kondisi pancaroba yang telah dialalminya.
Keating merumuskan lima pokok yang berkaitan dengan perkembangan berpikir
operasi formal, yaitu sebagai berikut :
Berlainan dengan cara berpikir anak-anak yang tekanannya kepada
kesadarannya sendiri disini dan sekarang, cara berpikir remaja berkaitan erat
dengan dunia kemungkinan. Remaja mampu menggunakan abstraksi dan dapat
membedakan yang nyata dan konkret dengan abstrak dan mungkin.
Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan nalar secara
ilmiah.
Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan dan
mengekplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya.
Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat
proses kognitif itu efisien dan tidak efisien. Dengan demikian, introspeksi
(pengujian diri) menjadi bagian kehidupannya sehari-hari.
Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik baru dan
ekspansi berpikir.
2.
Perkembangan dalam sikap Emosional
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang
tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama ogran seksual mempengaruhi perkembangan
emosi dan dorongan baru yang dialami sebelumnya seperti perasaan cinta. Pada
usia remaja awal, perkembanga emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan
reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa, emosinya bersifat negatif
dan tempramental. Sedangkan remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya.
Mencapai kematang emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi
remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional
lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya.
Meskipun
pada usia remaja kemampuan kognitifnya telah berkembang dengan baik, yang
memungkinkannya untuk dapat mengatasi stres atau fluktuasi emosi secara efektif,
tetapi ternyata masih banyak remaja yang belum mampu mengelola emosinya,
sehingga mereka banyak mengalami depresi, marah-marah, dan kurang mampu
meregulasi emosi. Kondisi ini dapat memicu masalah, seperti kesulitan belajar,
penyalahgunaan obat, dan perilaku menyimpang. Dalam suatu penelitian dikemukakan bahwa regulasi emosi sangat penting bagi keberhasilan
akademik. Remaja yang sering mengalami emosi yang negarif cenderung memiliki
prestasi belajar yang rendah.
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS
1.
Perkembangan dalam Sikap Kognitif
Kemampuan kognitif terus berkembang selama masa SMA. Akan tetapi, bagaimanapun tidak
semua perubahan kognitif pada masa SMA tersebut mengarah pada
peningkatan potensi. Kadang-kadang beberapa kemampuan kognitif mengalami
kemerosotan seiring dengan pertambahan usia. Meskipun demikian sejumlah ahli
percaya bahwa kemunduran keterampilan kognitif yang terjadi terutama pada masa SMA akhir dapat ditingkatkan
kembali melalui serangkaian pelatihan.
Perkembangan
kognitif pada fase usia dewasa awal, dikemukakan oleh Schaie (1997) bahwa
tahap-tahap kognitif Piaget menggambarkan
peningkatan efisiensi dalam perolehan informasi yang baru. Sebagai contoh, pada
masa dewasa awal terdapat perubahan dari mencari pengetahuan menuju menerapkan
pengetahuan, menerapkan apa yang sudah diketahui, khususnya dalam hal penentuan
karier dan mempersiapkan diri untuk menghadapi pernikahan dan hidup
berkeluarga.
2. Perkembangan
dalam Sikap Emosional
Pada
masa ini, tingkat karateristik emosional akan menjadi drastis tingkat
kecepatannya. Gejala-gejala emosional para remaja seperti perasaan sayang,
marah, takut, bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus
asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai calon pendidik dan
pendidik kita harus mengetahui setiap aspek yang berhubungan dengan perubahan
pola tingkah laku dalam perkembangan remaja, serta memahami aspek atau gejala
tersebut sehingga kita bisa melakukan komunikasi yang baik dengan remaja.
Perkembangan pada masa SMA (remaja) merupakan suatu titik yang mengarah pada
proses dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sifat kanak-kanak akan sulit
dilepaskan pada diri remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Psikolog
memandang anak usia SMA sebagai individu yang berada pada tahap yang tidak
jelas dalam rangkaian proses perkembangan individu. Ketidakjelasan ini karena
mereka berada pada periode transisi, yaitu dari periode kanak-kanak menuju
periode orang dewasa. Pada masa tersebut mereka melalui masa yang disebut masa
remaja atau pubertas. Umumnya mereka tidak mau dikatakan sebagai anak-anak tapi
jika mereka disebut sebagai orang dewasa, mereka secara riil belum siap
menyandang predikat sebagai orang dewasa.
Ada perubahan-perubahan yang bersifat universal pada masa remaja, yaitu meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikis, perubahan tubuh, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial tertentu untuk dimainkannya yang kemudian menimbulkan masalah, berubahnya minat, perilaku, dan nilai-nilai, bersikap mendua (ambivalen) terhadap perubahan.
Ada perubahan-perubahan yang bersifat universal pada masa remaja, yaitu meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikis, perubahan tubuh, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial tertentu untuk dimainkannya yang kemudian menimbulkan masalah, berubahnya minat, perilaku, dan nilai-nilai, bersikap mendua (ambivalen) terhadap perubahan.
Perubahan-perubahan
tersebut akhirnya berdampak pada perkembangan fisik, kognitif, afektif, dan
juga psikomotorik mereka.
2.3 IMPLIKASI BAGI GURU
Adanya karakteristik anak usia sekolah
menengah yang demikian, maka guru diharapkan untuk :
1. Menerapkan model pembelajaran yang
memisahkan siswa pria dan wanita ketika membahas topik – topik yang berkenaan
dengan anatomi dan fisiologi
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyalurkan hobi dan minatnya melalui kegiatan – kegiatan yang positif.
3. Menerapkana pendekatan pembelajaran yang
memperhatikan perbedaan individu atau kelompok kecil.
4. Meningkatkan kerja sama dengan orang tua
dan masyarakat untuk mengembangkan potensi siswa
5. Tampil mejadi teladan yang baik bagi siswa
6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar bertanggung jawab